Silat Menatap
Olimpiade
Oleh: Safei
Sebuah
anomali ketika atlet Indonesia tak lebih
dari 24 orang saja yang mampu lolos ke Olimpiade 2008 di Beijing China. Padahal
ada 7.500 atlet yang bertarung sebelumnya
di PON Kaltim. Dan hanya 21 atlet saja yang berlaga di Olimpiade London 2012,
sementara ada 7.432 atlet berlaga di PON
Riau. PON sama-sama kita ketahui adalah
ajang paling prestisius di negeri ini, sebagai cikal bakal atlet yang akan
menuju ajang sesungguhnya, yakni Olimpik Games atau yang kita sebut Olimpiade.
Pertanyaannya, kemana ribuan atlet lainnya yang telah berlaga di PON dengan
biaya akomodasi yang sangat besar itu? (konon mencapai Rp100 miliar (APBN Rp43
miliar) dan APBNP senilai Rp57 miliar di PON Riau). Artinya,
penyelenggaraan PON yang begitu megah dengan biaya dan tenaga yang sangat besar
ditangggung tuan rumah, ternyata paradoks dengan atlet yang di loloskan ke
Olimpiade. Jelas, sudah saatnya PON direformasi dan dirubah agar lebih efektif
dan efisien untuk melahirkan atlet-atlet
potensial yang akan menjajal event akbar sebesar Olimpiade.
Akan tetapi apa yang kita lihat akhir-akhir
ini, PON terkesan jadi ajang gagah-gagahan, faktanya tuan rumah berusaha jadi
penyelenggara sebaik mungkin, menganggarkan banyak uang, hingga ujung-ujungnya
tersandung juga oleh KPK. Terkadang stadion-stadion yang telah
selesai menghelat event, setelah itu pemerintah pun bingung mencarikan biaya
perawatan, hingga venue-venue tadi pun terbangkalai. Ini baru bentuk resiko yang ditanggung tuan
rumah. Sama halnya dengan peserta, masing-masing daerah berupaya mengirim atlet
sebanyak mungkin dengan logistik dan biaya yang membengkak pula. Saya terkejut
ketika mengetahui aeromodeling tiba-tiba dipertandingkan di PON. Kalau dilihat
dari sisi fisiologi, cabang tersebut
belum bisa dikatakan sebuah cabang olahraga dan lebih mendekati pada rekreasi atau
hobi-hobi santai di sore hari. Namun, cabang-cabang non olimpik ini
dipertandingkan maaf, hanya karena
arogansi penggurusnya, padahal harus kita sadari PON harus relevan dengan
Olimpiade. PON harus fokus untuk mempertandingkan cabang Olimpiade. Ini pun
bukan bearti mematikan cabang-cabang yang saya yakini juga memiliki banyak
peminat ini, namun kita harus berpikir realistis, bahwa kita selalu tertinggal
di ajang sesungguhnya, yakni Olimpiade. Logikanya kita menghabiskan waktu dan
biaya pada hal yang sunnah dari pada yang wajib. Cabang-cabang non olimpik bisa
dipertandingkan dalam event khsusus dan tersendiri, termasuk drum band yang konon
akan dipertandingkan di PON Jabar nanti. Logikanya, kalau saja ada 10 cabor non
olimpik di tiap PON nya, otomatis panitia harus menyediakan venue sebanyak itu
juga. Masing-masing daerah pun harus mengeluarkan akomodasi yang membengkak
untuk memberangkatkan atlet-atlet tersebut.
Ide mengevaluasi PON
memang sudah tercetus oleh berbagai kalangan sejak lama, melihat dari efisiensi
dan follow up yang dihasilkan
terhadap Olimpiade. Namun, ide-ide tersebut tidak digubris oleh tokoh-tokoh
yang cabangnya tercoret tanpa mau membuka pikiran secara terbuka dan realistis
menerima realita. Mereka lebih mempertimbangkan arogansi karena ada kepentingan
tersendiri disana. Misalnya pada PON Riau lalu, ada masukan dari beberapa tokoh
untuk mengurangi beberapa cabor yang membengkak hingga 40 lebih, namun banyak
PB/PB yang telah terlanjur cabornya dipertandingkan di PON bersikeras cabor tersebut
tetap dipertandingkan. Hingga PON tetap lah menjadi ajang kolosal empat
tahunan, PON usai, berbagai masalah pun mengintai karena rumitnya beban kerja
tuan rumah. Bukan rahasia lagi PON terkadang jadi proyek, bukan hal baru banyak
yang berurusan dengan KPK setelah PON usai.
Kita harus
mengembalikan marwah PON sebagai ajang unjuk diri menuju Olimpiade. PON pertama
sekali pada 1948 di Solo sangat relevan dengan Olimpiade 1952 di Helsinki.
Juara-juara PON 1948 langsung unjuk gigi di Olimpiade Helsinki. Kita harus
sadari kita sudah jauh tertinggal, atlet-alet muda kita tak bisa berbuat banyak
di Youth Olympic di Singapura 2010 lalu, yang notabene atlet-atlet muda inilah
yang nantinya akan berlaga di Olimpiade sesunguhnya. Masihkah kita bertahan
dengan cara pikir lama? Sementara realita seruan untuk berubah di depan mata
kita. Kalau bertahan dengan cara lama, bersiap-siaplah untuk tenggelam lebih
dalam. Ingat! Tradisi emas sudah hilang di Olimpiade London 2012.
***Pencak Silat Masuk Olimpiade
Diajang Olimpiade baru bulutangkis, angkat berat, dan panahan yang mampu
berbicara. Namun, ironisnya ditahun 2012 lalu tradisi emas dicabang bulutangkis
pun sudah hilang di Olimpiade London. Sebenarnya,
ada cabang unggulan Indonesia yang memiliki peluang untuk bisa diandalkan mampu
mengharumkan nama Indoensia di Olimpiade, yakni pencak silat. Selain menjadi
olahraga leluhur di Indonesia, Indonesia masih tercatat sebagai juara umum
silat ditingkat internasional, minimal di tingkat SEA Games. Sayangnya, kampanye
yang dilakukan pemegang kepentingan Pencak Silat dunia belum mampu mengambil hati
IOC sebagai pengambil keputusan organisasi itu untuk meloloskan pencak silat
untuk dipertandingkan di Olimpiade, termasuk Olimpiade 2016 di Brasil. Hingga,ditingkat Asian Games saja pencak silat
belum bisa dipertandingkan hingga sekarang. Keberhasilan Taekwondo, wushu masuk
nomor pertandingan olimpiade beberapa kali memang tidak lepas dari lobi-lobi
yang dilakukan, mulai dari kampanye lewat film dan memperkenalkan ke penjuru
dunia dengan mengirim pelatih ke berbagai negara. Pencak silat memang telah
melakukannya namun belum dilirik oleh IOC. Padahal silat sudah cukup mengglobal,bahkan
pencak silat sudah masuk dalam kurikulum di American University (Formula/Menpora).
Ternyata setelah diselidiki masih ada kendala yang dihadapi dalam
pengembangan silat ke berbagai negara, seperti kendala dana,terbatasnya pelatih
professional, dan kendala penguasaan bahasa asing. Pencak silat memiliki masa
depan cerah jika benar-benar dikembangkan ke tingkat dunia, karena dari segi
beladiri, seni, dan estetika permainan olahraga ini memenuhi syarat untuk
dipertandingkan sebagai sebuah sport.
0 comments: